Friday 2 May 2008

catatan pinggir (kali) : tanah dan pertanahan (perspektif pelayanan)

Seorang teman bertanya kepada saya, bagaimana sih caranya untuk buat sertipikat?; Pertanyaan tersebut kesannya memang begitu sederhana, tapi bagi saya sebagai “orang baru” di lingkungan kantor perlu berpikir keras dengan keringat dingin menjawabnya, kenapa ? jujur aja karena pengetahuan saya mengenai “itu” masih cetek, di benak saya yang terpikir untuk menjawab pertanyaan itu adalah : apa syarat2nya?, berapa biayanya?, berapa lama?, ngubunginnya kemana?, siapa aja yang dihubungin?,kena BPHTB?,SPT terakhir?, akta jual beli?, tanahnya “aman”?, dan lain-lain – dan sebagainya?, pokokna mah lieur. Tapi dengan modal pengetahuan pas-pasan (sisa pendidikan KDP, pernah baca PP 24 taun 97 , PP 46 taun 2002 ama UUPA 1960, nanya “ilmu muin” kawan kantor, pernah ikutan kuliah pertanahan dulu :) - red), saya jawab dengan seprofesional dan setenang mungkin, dan syukur teman saya tersebut “terlayani” dengan jawaban saya.
Tapi apa cukup sampai disitu?, tidak!, setahun kemudian kawan saya tersebut datang (curhat) kepada saya dengan marah-marah karena masalah “sepele” yaitu sertipikat tanahnya belum jadi juga padahal (baru)setahun diurus, ketika saya tanya kenapa masalahnya, dia menceritakan alasannya kurang inilah!, lengkapi itulah!, pokoknya ribet banget.
Semenjak itu saya jadi mulai berpikir (tanpa mencari-cari siapa yang salah!), ada apa sebenarnya??......kalo menurut penerawangan dan pendapat saya yang masih “bau kencur” sih ada beberapa faktor siganamah ,…
Pertama : pentingnya sosialisasi, apakah itu lewat surat kabar, televisi, spanduk ato baligo di jalan barangkali,ato juga kita bisa buat iklan layanan masyarakat (dalam bentuk cerita pendek) yang diputar di televisi ato mungkin bisa juga mengadopsi salah satu iklan layanan masyarakat di tipi seperti Buy One Get Two (beli satu dapat dua), maksudnya beli satu sertipikat dapat dua tanah?, atau beli satu tanah dapat dua sertipikat?, YA NGGALAH, kita harus ninggalin jaman kuno seperti itu, maksudnyah kalo ada "pelanggan" mau ngurus sertipikat pemecahan tanah jadi sepuluh misalnya maka bayarnya cukup "seharga delapan atau lima bidang ajah", apa bisa?, teuing atuh, kan cuman ngehayal...., saya jadi teringat pada suatu hari di jalan sempat membaca reklame “ORANG BIJAK TAAT PAJAK” yang memang dibuat oleh instansi perpajakan; bisakah kita meniru?, jawabnya bisa kalo ada kemauan, misalnya di jalan nanti ada reklame berbunyi “SERTIPIKAT TANAH ANDA ADALAH INVESTASI ANDA” ato lainnya (tergantung kesepakatan aja), mungkin nanti masyarakat berduyun-duyun datang ke kantor (bukan untuk demo!) melainkan ngurus sertipikat (devisa Negara bertambah, devisa keluarga juga surplus nian, uhuyy). Jadi itu, sosialisasi, jangan-jangan ada pegawai NLA malah taunya kalo buat sertipikat minimal setaun (astaga mudah-mudahan sih ga ada) ato sudah tau pura-pura tidak tau karena hidupnya mempunyai motto “kalo bisa dipersulit kenapa dipermudah”, tapi kalo ada salah siapa coba?!?, jadi itu, sosialisasi eksternal dan sosialisasi internal (sesuai tupoksinya).
Kedua : kayaknya perlu ato harus kalo menurut saya, sistem pelayanan satu atap, kita ketahui dalam pengurusan sertipikat tanah ada beberapa instansi pendukung, seperti pajak, perkebunan, pertanian, pemerintah kecamatan/desa, ato lainnya. Jadi selain ada 4 (empat) loket yang sekarang ini ada, kalo bisa ditambah lagi, misalnya ada loket PBB untuk ngurus SPT terakhir, loket camat/PPAT untuk ngurus akta jual beli, koneksinya gimana?, inget!, sekarang udah jaman globalisasi, koneksinya ya onlinelah lewat internet misalnya, kita ambil contoh bidang perbankan dimanapun berada kita bisa ambil money lewat ATM, kok bisa?, ya itu ONLINE.
Ketiga : Elegan, tampil cantik dan cerdas, tampil kasep dan professional; lho kok kayak pemilihan kulub dan supeh jambi ajah mesti cantik dan kasep; bukan itu maksudnya, tapi liat kondisi fisik kantor kita, tampak kurang terawat, bangunannya jadul cenderung bertendensi positif amburadul (mohon maaf BOS), tapi iya demikianlah adanya. Yang saya tau dulu waktu kecil bangunan BANK BRI juga “jelek” tapi memasuki era pertengahan tahun 90an mungkin manajemen mengambil kebijakan yang signifikan sehingga hasilnya dapat kita liat sekarang, mentereng, moderen, karyawannya (kliatan sejahtera), bahkan dinobatkan sebagai salah satu (BUMN) BANK terbaik di Indonesia. Contoh terbaru bisa kita liat Kantor Pelayanan Pajak Pratama, dimana kantor ini mengadopsi pelayanan dan bangunan fisik yang modern. Jadi hubungannya dengan kita apa?, ya kita bisa mencontoh merekalah!!, selain itu ini adalah konsekuensi dari faktor pertama di atas, gimana bisa nampung orang yang berduyun-duyun kalo ruangana leutik (baca : kecil - red)(sekali lagi sori BOS); terus dananya dari mana???, kemauan sih udah dari dulu ada!!, MENEKETEHE, yang saya tau bisa dari APBN, APBD, BPHTB; kalo kita bentuknya BUMN sih mungkin pendanaannya lebih mudah meureun……….Jadi pointnya pembenahan fisik kantor dan pegawainya tampil se-elegan mungkin sehingga masyarakat ga sia-sia bayar kita mahal ha..ha..ha..
Keempat : banyak berdoa, berolah raga, biar sehat jasmani dan rohani, LHOOOO… yang keempat apa ya?, kita mikirin bareng-bareng aja yu para stakeholder pertanahan Indonesia gimana caranya :)……

Kalo aja keempat "syarat geometris" tersebut terpenuhi sayamah rada saeutik yakin da pelayanan kita jadi (agak) bagus, paling tidak RMS error nya diperkecil dan proses transformasinya konform, nyata, tegak, diperbesar, naoonn deui........................

Tulisan ini ditulis hanya oleh seorang “anak kemaren sore” yang juga kawan sejawat saudara sekalian…mohon bimbingannya BOS….

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home